- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
ORDE BARU
Orde Baru (1966 hingga 1998)
adalah
sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan
dikeluarkannya Surat
Perintah 11 Maret 1966.
1.
Latar belakang
Meski telah
merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil. Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1949, keadaan
politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di
antara kelompok-kelompok politik. Keputusan
Soekarno untuk mengganti sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah
kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang kala itu berniat mempersenjatai diri. Sebelum sempat terlaksana,
peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan
diberangusnya PKI dari Indonesia. Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.
2.
Kelahiran Surat Perintah
Sebelas Maret 1966 (Supersemar)
Orde Baru
lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar
legalitasnya. Orde Baru bertujuan
meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kelahiran
Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu,
A. Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung. Di tengah acara, ajudan presiden
melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan
pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. J. Laimena dan
berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr
Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh. Dr. J. Laimena sendiri menyusul
presiden segera setelah sidang berakhir.
B. Keluar suart supersemar
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor
Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku
Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden. Segera setelah mendapat izin, di
hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan
melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga. Namun, mereka juga memohon
agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini. Menanggapi
permohonan ini, Presiden Soekarno
mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto
selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka
menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa
dan negara Republik Indonesia. Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu
oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur, Komandan
Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa. Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai
Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
3.
Pemberangusan PKI
Sebagai
tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi
pembubaran dan larangan bagi PKI serta ormas-ormas yang bernaung dan
berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti
ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Keputusan
pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena
merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
Pada tanggal
18 Maret 1966:
1. Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang
dinilai tersangkut dalam G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya yang dituangkan
dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.
2.
memperbaharui
Kabinet Dwikora yang disempurnakan
dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari
orang-orang yang dianggap terlibat G 30 S/PKI.
3.
Keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan gugur.
4.
Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan
sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. Di DPRGR sendiri, secara total ada
62 orang anggota yang diberhentikan. Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR
dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan
sebagai menteri.
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli
1966, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai berikut:
- Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
- Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
- Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
- Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
- Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.
- Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
- Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.
Hasil dari Sidang
Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai berhasil memenuhi dua
dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran PKI dan pembersihan
kabinet dari unsur-unsur PKI.
Selain dibubarkan
dan dibersihkan, kader-kader PKI juga dibantai khususnya di wilayah
pedesaan-pedesaan di pulau Jawa. Pembantaian ini tidak hanya
dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang
dipersenjatai. Selain kader, ribuan pegawai
negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan
dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan PKI. Sebagian diasingkan ke Pulau Buru,
sebuah pulau kecil di wilayah Maluku. Pada tanggal 30 September setiap
tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan PKI sebagai organisasi
yang keji.
4.
Pembentukan Kabinet Ampera
Dalam rangka
memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS No.
XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera. Tugas utama Kabinet Ampera adalah
menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama
Dwidarma Kabinet Ampera.
Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya
Kabinet Ampera, yaitu:
- memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
- melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
- melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
- melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno,
namun pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh
Jenderal Soeharto. Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan yang menjadi
kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.
5. Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto
Akhirnya pada22 Februari 1967, untuk
mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.
Penyerahan ini tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima
Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967. Pengumuman itu didasarkan atas
Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan,
pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan
presiden. Pada 4 Maret 1967,
Jenderal Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR
mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan. Namun, pemerintah tetap
berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan
tetap konstitusional. Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12
Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara
resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga
terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
A. Kebijakan
ekonomi
Ø Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah
Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan oleh pemerintahan
sebelumnya.
Kemerosotan ekonomi ini ditandai:
2. Tingginya inflasi yang mencapai 65%,
3. Hancurnya sarana-sarana ekonomi
akibat konflik yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno.
Untuk mengatasi kemerosotan ini,
pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No.
XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha
rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan
apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi
akan pulih dan produksi akan meningkat.
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan
landasan untuk pembangunan yang disebut sebagai
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita
pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi
prasarana penting dan pengembangan iklim usaha dan investasi. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi
kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain. Pembangunan antara lain
dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit
perbankan. Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang utama
seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.
Repelita I:
1. membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata
3% menjadi 6,7% per tahun,
2. pendapatan perkapita meningkat dari
80 dolar AS menjadi 170 dolar AS,
3. inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir
Repelita I di tahun 1974.
Repelita
II (1974-1979) dan Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian
pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan pembangunan dengan
penekanan pada sektor pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah menjadi
bahan baku. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status
swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia di tahun 1970-an.
Fokus Repelita IV (1984-1989) dan
Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai
bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang
menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri
yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.
Ø Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde
Baru menitikberatkan fokusnya pada
pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah
prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik. Sektor ini berkembang pesat
setelah pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian seperti irigasi dan
perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis. Pemerintah juga
memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi nama
Bulog (Badan Urusan Logistik).
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil
pertanian meningkat tajam. Prestasi ini merupakan sebuah prestasi besar
mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar
di dunia pada tahun 1970-an.
Ø Pemerataan kesejahteraan penduduk
Pemerintah juga berusaha mengiringi
pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan penduduk melalui:
a.
program-program penyediaan kebutuhan pangan,
b.
peningkatan
gizi,
c.
pemerataan
pelayanan kesehatan,
d.
keluarga
berencana,
e.
pendidikan
dasar,
f.
penyediaan
air bersih,
g.
dan
pembangunan perumahan sederhana.
Dampaknya adlah:
a. penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% di
tahun 1970-an ke angka 15% di tahun 1990-an.
b. Pendapatan perkapita masyarakat juga
naik dari yang hanya 70 dolar per tahun di tahun 1969, meningkat menjadi 600
dolar per tahun di tahun 1993.
c. peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun di tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.
d. angka kematian bayi juga menurun dari 142
untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran
hidup.
e. Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan
melalui program Keluarga Berencana (KB).
B. Penataan
Kehidupan Politik
Ø Pembubaran PKI dan Organisasi
masanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan,
serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah
mengeluarkan kebijakan:
·
Membubarkan
PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No
IX/MPRS/1966
·
Menyatakan
PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
·
Pada tanggal
8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.
Ø Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah
dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan
pemerintah melakukan penyederhanaan dan
penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik.
Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan
ideologi, tetapi lebih atas persamaan program.
Tiga kekuatan sosial politik itu
adalah:
b. Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) yang
merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
Penyederhanaan partai-partai politik
ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upaya menciptakan stabilitas kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Ø Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah
berhasil melaksanakan enam kali
pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Dalam setiap Pemilu yang
diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu.
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru,
Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR dan PPP
memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.
Sedangkan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11
kursi di DPR. Hal disebabkan adanya
konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur
selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di
Indonesia telah berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun dalam kenyataannya, Pemilu
diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar.
Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu
1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi
oleh Golkar. Keadaan ini telah
memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode,
karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu
setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.
Ø Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Di masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di
Indonesia. Selain menjadi angkatan
bersenjata, ABRI juga memegang
fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Peran
ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya
pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah
tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan
adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara
pengangkatan tanpa melalui Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR
dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.
Sistem ini memancing kontroversi di
tubuh ABRI sendiri, yaitu:
a.
Banyak perwira, khususnya mereka yang berusia
muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI. Masuknya
pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu
mempelajari strategi militer berkurang.
b.
Secara
kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
c.
Pendanaan
yang didapatkan ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB,
d.
Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang
dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.
Ø
Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) (12 April 1976) Ekaprasatya Pancakarsa atau
Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama
terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.
Sehingga sejak
tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai
asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem
kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde
Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama
Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan
industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap
memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.
Ø Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif
kembali dipulihkan. MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. (kepentingan
nasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta
keadilan)
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak
manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.
Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut
baik oleh negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri.
Hal ini ditunjukkan dengan:
b. Indonesia juga memulihkan hubungan
dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang
akibat politik konfrontasi Orde Lama.
B. Normalisasi Hubungan dengan Negara
lain
a. Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan
Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali. Pada
tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia
menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Lalu
pemerintah Singapura menyampaikan nota
jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
b. Pemulihan Hubungan dengan Malaysia
Penandatanganan persetujuan
normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya
perundingan di Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi
perjanjian tersebut adalah:
·
Rakyat Sabah diberi
kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai
kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
·
Pemerintah
kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
·
Tindakan
permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966
penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani
di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
c. Pembekuan Hubungan dengan RRT
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik
Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik
Rakyat Tiongkok (RRT).
Keputusan
tersebut dilakukan karena:
a.
RRT telah mencampuri urusan dalam
negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada G 30 S/PKI baik untuk
persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.
b.
pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan
orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar
Republik Indonesia di Peking.
c.
Pemerintah RRT juga telah memberikan
perlindungan kepada tokoh-tokoh G 30 S/PKI di luar negeri, serta secara
terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI.
d.
Melalui media massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967, Pemerintah Indonesia
secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.
C. Penataan
Kehidupan Ekonomi
Ø Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah
Orde Baru melakukan langkah-langkah:
·
Memperbaharui
kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh
Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
·
MPRS mengeluarkan garis program
pembangunan, yakni program penyelamatan serta program stabilisasi dan
rehabilitasi.
Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga
barang-barang tidak melonjak terus. Rehabilitasi
ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah
pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi
ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet
Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:
·
Mendobrak
kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan.
Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
1. Rendahnya penerimaan negara.
2. Tinggi dan tidak efisiennya
pengeluaran negara.
4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar
negeri.
5. Penggunaan devisa bagi impor yang
sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
Untuk melaksanakan langkah-langkah
penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru menempuh cara:
·
Melaksanakan
sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan
dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
·
Menghemat
pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan
subsidi bagi perusahaan Negara.
v Program stabilsasi ini
dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli
1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat
terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu
ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan
valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan pemerintah.
v Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir
masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada
prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan
perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan
kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat
melaksanakan fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.
Ø Kerjasama Luar Negeri
·
Pertemuan Tokyo
pemerintahan Orde Lama mewariskan utang luar negeri yang sangat besar,
yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta
negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia.
Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan
perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo. Pemerintah
Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa
ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang
selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat
tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:
2. Pembayaran dilaksanakan secara
angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
3. Selama waktu pengangsuran tidak
dikenakan bunga.
4. Pembayaran hutang dilaksanakan atas
dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor maupun terhadap
sifat atau tujuan kredit.
- Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan
perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan
membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan
pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil
langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Di
samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan penangguhan serta memperingan
syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang
peninggalan Orde Lama. Melalui pertemuan tersebut
pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
D. Pembangunan
Nasional
Setelah berhasil memulihkan kondisi
politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah
Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang
diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka
pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan
Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang
mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan
nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan
tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:
1. Melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah Indonesia
2. Meningkatkan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional
yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah
kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi
yang stabil.
Isi Trilogi Pembangunan adalah :
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis.
Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
2. Pemerataan memperoleh kesempatan
pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi
dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di
seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh
keadilan.
- Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah disebutkan di muka
bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui
program Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
Selama masa Orde Baru, pemerintah
telah melaksanakan enam Pelita yaitu:
menjadi landasan awal pembangunan masa Orde
Baru. Tujuan Pelita I adalah
meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya
adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik
beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk
mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Sasaran utama adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan
rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup
berhasil yaitu ditandai dengan turunya inflasi.
Pelaksanaan Pelita III masih
berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan
Delapan Jalur Pemerataan.
Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada
Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk
mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan
kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada
masa itu kondisi ekonomi Indonesia
berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per
tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang
menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
Program pembangunan ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan
pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam
negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
E. Warga
Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya
berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan
pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan
catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk
memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan
terbit adalah Harian
Indonesia yang
sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski
beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa
warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan
akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.] Padahal,
kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang,
yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang
sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi
memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan
dirinya.
F. Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan
bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah
meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya
seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan
dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat
dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan
pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program
transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai
daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi
terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu
gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam
pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh
ketidaksukaan terhadap para transmigran.
6.Krisis
finansial Asia
Pada pertengahan 1997:
a. Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi
Asia
c. harga minyak, gas dan komoditas
ekspor lainnya yang semakin jatuh.
e. inflasi meningkat tajam,
f. perpindahan modal dipercepat.
Akhirnya Para demonstran, yang
awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta
pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan
setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh.
Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
7.Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya
pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru,
untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini
sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir.
Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai
"Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis
dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era
Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti
lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
8.Kesimpulan
Ø Kelebihan sistem Pemerintahan Orde
Baru
- Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
- Sukses transmigrasi
- Sukses KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Sukses swasembada pangan
- Pengangguran minimum
- Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan Wajib Belajar
- Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
- Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Ø Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde
Baru
- Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
- Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
- Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
- Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
- Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
- Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
- Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
- Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
- Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
- Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
- Dan Lain Sebagainja
SUMBER:https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru#Latar_belakang
Komentar
Posting Komentar